SECANGKIR KOPI DI BATUR
Matahari
hangat dalam selimutnya. Dingin pagi merasuk keseluruh tulang dalam tubuhku.
Darah terasa berhenti mengalir karena dingin pagi itu. Pagi buta aku beserta 4
kawanku tengah bersiap mendaki gunung Batur di Kintamani. Menikmati pemandangan
dipuncak Batur sungguh menjadi pengalaman sendiri yang terlupakan. Karena itu,
akhir masa SMA aku dan kawan-kawan ku, Agus, Yudi, Raymond, John ingin
menyaksikan surya yang bangun dari tidurnya, dari ketinggian 1.717 m dari
permukaan laut. Suhunya lumayan dingin disana, dibandingankan didaerah aku yang
berada didataran rendah. Ada rasa enggan untuk mendaki, tetapi keinginan kami
yang kuat mematahkan keengganan itu. Kami berlima memakai pakaian tebal.
Raymon, apalagi, dia berpakain seperti perampok. Tangan diselimuti dua sarung
tangan. Kakinya dibungkus dengan sepatu sport yang cukup tebal. Dan muka
ditutupi pakai topi. Yang kelihatan hanya dua matanya saja. Agus maIah lebih
menyedihkan lagi. Sementara John, karena agak gemuk, Ia hanya memakai jaket
saja. Mungkin karena lemaknya cukup banyak. Jadi Ia tahan dalam suhu dingin.
Aku sendiri hanya topi, jaket serta
sepatu. Aku punya teknik sendiri untuk menghangatkan badan. Yaitu dengan
jingkrak-jingkrak seperti kuda liar sebanyak 20 kali sampai keluar keringat.
Yudi hampir saja menyerah. Ia paling payah diantara kami. Dia tak membawa
banyak pakaian. Ia menganggap suhu tidak sedingin itu. Dan Ia sudah terbiasa
dengan suhu dingin katanya. Tetapi mengajak berjingkak-jingkrak sebanyak 50
kali. Keringat mulai mengucur walau masih sedikit saja. Kami segera berangkat,
takut jika terlalu siang tiba dipuncak. Dan pemandangan indah itu terlewatkan. Karena
untuk tiba dipuncak memakan waktu kurang lebih 2 jam. Apalagi medan cukup sulit
dan itu malam lagi. Dalam pendakian ternyata kami tidak sendiri, ada kelompok
lain. Meski aku tak mengenal mereka, kami berjalan bersama. Dan aku berjalan
paling belakang tepat dibelakang seseorang. Aku tidak jalan cepat karena
kedinginan. Jangankan namanya, jenis kelaminnya pun aku tidak tahu. Aku tidak
tahu apakah dia perempuan atau pria, aku hanya berjalan saja dibelakangnya
tanpa berkata sepatah katapun. Kawan-kawan aku tampaknya mulai berbaur dengan
kelompok lain itu. Mereka tampaknya bisa menjalin komunikasi. Sementara aku dan
dia seperti membeku, aku tidak berkata, dia pun kita berkata apapun. Entah
karena apa, bisa karena medannya sulit, dia terpeleset. Dan hampir saja
terjatuh. Untung saja aku tepat berada dibelakangnya. Dengan sigap aku
mendekapnya, dan memegang tangannya. “Kamu tidak apa-apa?” aku menamyakan
kondisinya. Ia hanya menjawab dengan gelengan kepala saja. Itu menandakan ia
baik-baik saja. Aku tetap tidak tahu apa dia wanita atau pria. Tetapi tatapan
mata mengisyaratkan sesuatu. Ya seperti tatapan seorang wanita. Aku tidak yakin
dengan tatapan mata itu. Aku takut dia wanita jadi-jadian atau wanita yang
sudah punya suami. Atau suami ada didepan bersama kawan-kawan aku. Menyadari
aku masih dibelakang John berteriak memanggil aku. “Win, kenapa loe?” Ia
berteriak seperti Tarzan dihutan Amazon. “ Gue baik-baik saja” jawab gue,
dengan teriak juga, tetapi tidak sekeras John. John mengarah slampu senter pada
aku. Orang yang disamping aku, mengacungkan jempolnya memberi tanda dia
baik-baik saja. “Ayo kita lanjutkan.
Sebentar lagi nyampe, tinggal beberapa meter lagi” kata Agus yang juga
ngos-ngosan. Akhirnya kami pun tiba, dipuncak seperti yang aku rencanakan. Kami
semua beristirahat sejenak melepas melepas lelah sambil menunggu matahari
bangun. Sebentar lagi Ia bangun.