Sunday, July 29, 2012

SECANGKIR KOPI DI BATUR



SECANGKIR KOPI DI BATUR
Matahari hangat dalam selimutnya. Dingin pagi merasuk keseluruh tulang dalam tubuhku. Darah terasa berhenti mengalir karena dingin pagi itu. Pagi buta aku beserta 4 kawanku tengah bersiap mendaki gunung Batur di Kintamani. Menikmati pemandangan dipuncak Batur sungguh menjadi pengalaman sendiri yang terlupakan. Karena itu, akhir masa SMA aku dan kawan-kawan ku, Agus, Yudi, Raymond, John ingin menyaksikan surya yang bangun dari tidurnya, dari ketinggian 1.717 m dari permukaan laut. Suhunya lumayan dingin disana, dibandingankan didaerah aku yang berada didataran rendah. Ada rasa enggan untuk mendaki, tetapi keinginan kami yang kuat mematahkan keengganan itu. Kami berlima memakai pakaian tebal. Raymon, apalagi, dia berpakain seperti perampok. Tangan diselimuti dua sarung tangan. Kakinya dibungkus dengan sepatu sport yang cukup tebal. Dan muka ditutupi pakai topi. Yang kelihatan hanya dua matanya saja. Agus maIah lebih menyedihkan lagi. Sementara John, karena agak gemuk, Ia hanya memakai jaket saja. Mungkin karena lemaknya cukup banyak. Jadi Ia tahan dalam suhu dingin. Aku sendiri hanya topi, jaket  serta sepatu. Aku punya teknik sendiri untuk menghangatkan badan. Yaitu dengan jingkrak-jingkrak seperti kuda liar sebanyak 20 kali sampai keluar keringat. Yudi hampir saja menyerah. Ia paling payah diantara kami. Dia tak membawa banyak pakaian. Ia menganggap suhu tidak sedingin itu. Dan Ia sudah terbiasa dengan suhu dingin katanya. Tetapi mengajak berjingkak-jingkrak sebanyak 50 kali. Keringat mulai mengucur walau masih sedikit saja. Kami segera berangkat, takut jika terlalu siang tiba dipuncak. Dan pemandangan indah itu terlewatkan. Karena untuk tiba dipuncak memakan waktu kurang lebih 2 jam. Apalagi medan cukup sulit dan itu malam lagi. Dalam pendakian ternyata kami tidak sendiri, ada kelompok lain. Meski aku tak mengenal mereka, kami berjalan bersama. Dan aku berjalan paling belakang tepat dibelakang seseorang. Aku tidak jalan cepat karena kedinginan. Jangankan namanya, jenis kelaminnya pun aku tidak tahu. Aku tidak tahu apakah dia perempuan atau pria, aku hanya berjalan saja dibelakangnya tanpa berkata sepatah katapun. Kawan-kawan aku tampaknya mulai berbaur dengan kelompok lain itu. Mereka tampaknya bisa menjalin komunikasi. Sementara aku dan dia seperti membeku, aku tidak berkata, dia pun kita berkata apapun. Entah karena apa, bisa karena medannya sulit, dia terpeleset. Dan hampir saja terjatuh. Untung saja aku tepat berada dibelakangnya. Dengan sigap aku mendekapnya, dan memegang tangannya. “Kamu tidak apa-apa?” aku menamyakan kondisinya. Ia hanya menjawab dengan gelengan kepala saja. Itu menandakan ia baik-baik saja. Aku tetap tidak tahu apa dia wanita atau pria. Tetapi tatapan mata mengisyaratkan sesuatu. Ya seperti tatapan seorang wanita. Aku tidak yakin dengan tatapan mata itu. Aku takut dia wanita jadi-jadian atau wanita yang sudah punya suami. Atau suami ada didepan bersama kawan-kawan aku. Menyadari aku masih dibelakang John berteriak memanggil aku. “Win, kenapa loe?” Ia berteriak seperti Tarzan dihutan Amazon. “ Gue baik-baik saja” jawab gue, dengan teriak juga, tetapi tidak sekeras John. John mengarah slampu senter pada aku. Orang yang disamping aku, mengacungkan jempolnya memberi tanda dia baik-baik saja.  “Ayo kita lanjutkan. Sebentar lagi nyampe, tinggal beberapa meter lagi” kata Agus yang juga ngos-ngosan. Akhirnya kami pun tiba, dipuncak seperti yang aku rencanakan. Kami semua beristirahat sejenak melepas melepas lelah sambil menunggu matahari bangun. Sebentar lagi Ia bangun.

Waktu yang aku tunggu pun tiba. Surya tampak baru bangun, diselimuti mega-mega kuning, berarak-arak disekitanya. Diufuk timur sedang mempertunjukan suatu maha karya indah oleh Yang maha Kuasa. Semua duduk menghadap keufuk timur seolah tidak mau terlewatkan sedikit pun. Beberapa yang mengabadikan dengan kameranya. Ada juga beberapa orang yang masih jongkok kedinginan seperti suku Eskimo dikutub utara. Didorong oleh rasa penasaran aku terhadap orang yang bersama dengan aku mendaki tadi, mataku secara otomatis menscan orang-orang yang berada dipuncak untuk mencari orang itu. Tetapi Aku tidak mengidentifikasinya. Ia menghilang begitu saja bagaikan seorang hantu. John memperhatikan aku yang sedang mencarinya.
 “Apa yang hilang, Win?” katanya.
 “ eh, loe liat orang yang jalan sama gue tadi gak?” tanya aku balik ke dia.
 “ Orang yang mana? Gue gak liat? Guys, kalian liat gak?” semua kawanku menjawab tidak melihatnya. “ Win,,,jangan-jangan…? Kata john menakuti aku. “ Jangan-jangan apa? “ Jangan-jangan ia hantu penunggu gunung ini” kata menakuti aku.
“Ah gak mungkin, dia manusia kok” jawabku dengan tegas mengusir rasa takut jika Ia meman benar hantu.
 “ Buktinya kawan-kawan yang lain gak liat loe jalan sama seseorang?” katanya membuat aku semakin takut.
 “ Masak sik?” aku masih tidak percaya. Aku masih tetap mencarinya walau dengan melihat kesana-kemari. Aku tidak juga menemukannya. Aku mulai takut. Jangan-jangan benar Ia memang hantu. Bulu romaku merinding, aku gemetar karena takut.
“Berarti aku berpandang-pandangan dengan hantu, aku menggenggam tangan hantu” pikir aku dalam hati. Pemikiran seperti semakin membuat rasa takut aku menjadi-jadi. Mendadak saja aku lupa dengan matahari terbit diufuk timur. Tidak kusadari matahari makin tinggi. Sinarnya terasa hangat, menghangatkan tulang-tulang aku. Aku masih membeku dalam ketakutan. Sinar matahari tak mampu mengusir rasa takut aku. Aku berpikir jika aku telah bertemu hantu, menatap mata hantu dari dekat. Sementara aku masih berada dalam ketakutan, samar-samar terdengar suara yang sangat manis dari belakang aku.
“ Pagi yang indah, kan? “ begitu terlintas ditelinga. Aku menolehnya kebelakang. Terlihat sesosok wanita canita, meski masih berselimutkan jaket dan topi. Tinggi, rambutnya panjang, matanya indah meski Ia masih telihat kedinginan. Ia memegan dua cangkir kopi torabika hangat. Ia bergerak menghampiriku. Ia memberiku cangkir kopi lainnya.
 “ Ini kopi, untuk kamu?” kata manis menawarkan kopi hangat itu. Aku masih tidak menerimanya karena aku merasa tidak mengenalnya.
“ Sudah, ambil saja, gak ada racunnya kok” katanya sambil tersenyum mengodaku. Aku lihat senyumnya yang tulus, lalu aku terima kopi hangat itu.
 “Thank ya”. Ini kopi torabika, kan?” Aku mencoba mencairkan beku. “Kok kamu tahu?” tanya Ia penuh penasaran.
 “ ini kopi kesukaan aku pada saat dingin”? jawabku.
 “ Oh ya? Sama dong?” Ia menimpali kata-kata aku.
“ Btw, thank ya”, ia melanjutkan kata-katanya.
 “ Untuk?” tanyaku singkat.
 “Karena telah menolong aku”.jawabnya.
 “tunggu dulu, menolong kamu, perasaan gak ada?” aku penasaran.
 “ Waktu aku jatuh tadi, kamu kan yang menolong aku.
“astaga, jadi itu kamu”. Aku terkejut sekali ketika Ia bilang begitu. Seketika rasa takut hilang entah kemana.
 “ Ya, emangnya, kenapa?”. tanya dia penasaran.
“aku kira orang yang aku tolong itu hantu. Ketika sampai disini, kamu menghilang entah kemana. Dan teman-teman aku, juga tidak melihat kamu. Jadi, aku berpikir itu hantu gunung ini” jawabku panjang lebar.
“ Trus, sekarang masih takut?”.  
“Udah gak, udah hilang karena kopi hangat ini h aa..ha..aku tertawa senang.
“ Ngomong-ngomon kita belum kenalan, aku Listya” katanya sambil menyodorkan tangannya.
“ Aku win”. Jabatan tangannya itu menghangatkan tangan aku yang saat itu masih dingin.
 “Kamu suka mendaki gunung juga, Lis?. “
“ Aku berencana akan mendaki gunung everest” ha..ha..”
Dari percakapan yang berawal dari secangkir kopi hangat, aku mengetahui tentang dirinya. Listya, ternyata sama dengan aku yang baru saja lulus SMA. Hanya saja kita berbeda kabupaten saja. Aku dari Karangasem. Listya dari Bangli. Sungguh tidak kata untuk melukiskan keindahan saat itu. Dua keindahan bertemu dalam kesempatan yang sama. Aku beruntung sekali. Seperti halnya, Listya pun akan melanjutkan kuliah di Singaraja Bali. Aku berjanji dengan bahwa kita ketemu di sana. Tidak terasa matahari makin tinggi, dn percakapan percakapan harus segera diakhiri karena kami segera turun gunung dan balik pulang. Dalam perjalanan menuruni gunung, aku mengendongnya lantaran dia keseleo kakinya. Setibanya dikaki gunung, dia pun kembali kekelompoknya. Aku juga akan pulang bersama kawan-kawanku. Sebelum pulang, aku memberanikan diri meminta nomor handphone. Ia menuliskannya dibungkus kopi. Aku berjanji akan menghubungi dia setibanya dirumah.
Aku pulang, sebuah pendakian yang menyenangkan dan ketemu cewek cantik. Aku tak sabar tiba dirumah. Aku akan menelponnya. Setibanya dirumah, langsung saja aku cari handphone. Aku pinjam handphone adik aku, karena handphone sedang drop baterainya.  Saking gembiranya, aku melupakn satu hal yaitu nmor handphone. Aku lupa dimana menaruhnya. Aku lebur isi tas aku, aku tak juga menemukan bungkus kopi itu. Pupus sudah harapanku untuk menelponnya. Satunya harapan adalah ketika masuk perguruan tinggi di singaraja. Aku menunggu untuk bertemu lagi dengan Listya di singaraja. (to be continued in Singaraja Bali)

No comments:

Post a Comment